Posted by Suprapto
Alhamdulillah, para ulama besar
abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol [1], maka di sini kita
nukilkan fatwa-fatwa mereka sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan.
Terdapat perbedaan ijtihad di
antara mereka dalam memandang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz
rahimahullah berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol
tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak
mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam
hadits
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang banyaknya
memabukkan, maka sedikitnyapun haram.” [2]
Ketika beliau ditanya tentang
obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya
mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam,
maka beliau menjawab: “Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa
sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali
jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya
memabukkan” maka tidak boleh digunakan berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam:
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang banyaknya
memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Adapun jika obat-obatan itu tidak
memabukkan dan banyaknya pun tidak memabukkan, hanya saja berefek membius
(menghilangkan rasa) untuk mengurangi beban rasa sakit penderita maka yang
seperti ini tidak mengapa.”(Majmu’ Fatawa, 6/18)
Juga ketika beliau ditanya
tentang parfum yang disebut الْكُلُوْنِيَا (cologne), beliau berkata: “Parfum الْكُلُوْنِيَا (cologne) yang mengandung alkohol tidak
boleh (haram) untuk digunakan. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami
berdasarkan keterangan para dokter yang ahli di bidang ini bahwa parfum jenis
tersebut memabukkan karena mengandung “spiritus” yang dikenal. Oleh sebab itu,
haram bagi kaum lelaki dan wanita untuk menggunakan parfum jenis tersebut… Kalau
ada parfum jenis cologne yang tidak memabukkan maka tidak haram menggunakannya.
Karena hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya [3], ada atau tidaknya
‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu
memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku
padanya).” (Majmu’ Fatawa, 6/396 dan 10/38-39)
Dan yang lebih jelas lagi adalah
jawaban beliau pada Majmu’ Fatawa (5/382, dan 10/41) beliau berkata: ”Pada
asalnya segala jenis parfum dan minyak wangi yang beredar di khalayak manusia
hukumnya halal. Kecuali yang diketahui mengandung sesuatu yang merupakan
penghalang untuk menggunakannya, karena ‘sesuatu’ itu memabukkan atau banyaknya
memabukkan atau karena ‘sesuatu’ itu adalah najis, dan yang semacamnya… Jadi,
jika seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung ‘sesuatu’ berupa bahan
memabukkan atau benda najis yang menjadi penghalang untuk menggunakannya, maka
diapun meninggalkannya (tidak menggunakanya) seperti cologne. Karena telah
tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan persaksian para dokter (yang ahli di
bidang ini) bahwa parfum ini tidak terbebas dari bahan memabukkan karena
mengandung ‘spiritus’ berkadar tinggi, yang merupakan bahan memabukkan,
sehingga wajib untuk ditinggalkan (tidak digunakan). Kecuali jika ditemukan ada
parfum jenis ini yang terbebas dari bahan memabukkan (maka tentunya tidak
mengapa untuk digunakan). Dan jenis-jenis parfum yang lain sebagai gantinya,
sekian banyak yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, walhamdulillah.
Demikian pula halnya, segala
macam minuman dan makanan yang mengandung bahan memabukkan, wajib untuk
ditinggalkan. Kaidahnya adalah: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka
sedikitnya pun haram”, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam:
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang banyaknya
memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Dan hanya Allah Subhanahu wa
Ta’ala-lah yang memberi taufik.”
Demikian pula yang terpahami dari
fatwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah (dalam
Ijabatus Sa`il hal. 697) bahwa pendapat beliau sama dengan pendapat gurunya
yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya tentang cologne. Beliau
menjawab (tanpa rincian) bahwa tidak boleh menggunakannya dan tidak boleh memperjualbelikannya,
berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرُهَا وَمُعْتَصِرُهَا وَشَارِبُهَا وَحَامِلُهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيْهَا وَبَائِعُهَا وَآكِلُ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melaknat 10 jenis orang karena khamr: yang memprosesnya (membuatnya),
yang minta dibuatkan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan
untuknya, yang menghidangkannya, yang menjualnya, yang makan (menikmati) harga
penjualannya, yang membelinya dan yang dibelikan untuknya.” [4]
Sementara itu, Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berpendapat bahwa
pada permasalahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan kita simak dengan
jelas dari fatwa keduanya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/178) cetakan Darul Atsar, berkata:
“Bagaimana menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini
yang mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat? Kami
nyatakan: Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang
diakibatkan oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita
dan mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek
menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali)
tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai.
Telah diketahui bahwa hukum yang
bergantung pada suatu ‘illah [5], jika ‘illah tersebut tidak ada maka hukumnya
pun tidak ada. Nah, selama ‘illah suatu perkara dihukumi khamr adalah
“memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak memabukkan, berarti tidak
termasuk kategori khamr yang haram. Wallahu a’lam. Wajib bagi kita untuk
mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka
sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang memabukkan dan dicampur
dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya
minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila anda minum banyak tentu
anda mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Sedikitnyapun haram.” (Kenapa
demikian padahal yang sedikit tersebut tidak memabukkan?) Karena itu merupakan
dzari’ah (artinya bahwa yang sedikit itu merupakan wasilah/perantara yang akan
menyeret pelakunya sampai akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan).
Adapun mencampur dengan bahan
lain dengan perbandingan kadar alkoholnya sedikit sehingga tidak menjadikan
bahan tersebut memabukkan maka yang seperti ini tidak mengubah bahan tersebut
menjadi khamr (yang haram). Jadi ibaratnya seperti benda najis yang jatuh ke
dalam air (tapi kadar najisnya sedikit) dan tidak menajisi (merusak kesucian)
air tersebut (karena warna, bau, ataupun rasanya tidak berubah) maka air
tersebut tidak menjadi najis karenanya (tetap suci dan mensucikan).”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullag
ketika ditanya tentang berbagai parfum atau minyak wangi yang mengandung
alkohol, maka beliau menjawab: “Apabila kadar alkohol yang terkandung di
dalamnya menjadikan parfum-parfum yang harum itu sebagai cairan yang
memabukkan, dalam arti kalau diminum oleh seorang pecandu khamr dan ternyata
memberi pengaruh seperti pengaruh khamr (yaitu mengakibatkan dia mabuk, maka
parfum-parfum tersebut hukumnya tidak boleh (haram untuk digunakan). Adapun
jika kadar alkoholnya sedikit (dalam arti tidak mengubah parfum-parfum tersebut
menjadi memabukkan) maka hukumnya boleh. (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Kemudian kita akhiri pembahasan
ini dengan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah yang sangat rinci. Beliau
rahimahullah berkata: “Untuk memahami makna hadits:
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang banyaknya
memabukkan maka sedikitnya pun haram.”
Mari kita mendatangkan contoh:
Kalau ada 1 liter air yang mengandung 50 gram bahan memabukkan yang kita
namakan alkohol, maka cairan ini –yang tersusun dari air dan alkohol– berubah
menjadi memabukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan
mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh
seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi
haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung 5 gram alkohol (misalnya).
Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak mabuk, maka
yang seperti ini halal untuk diminum.
Selanjutnya, apakah boleh bagi
seorang muslim mengambil 1 liter air kemudian menumpahkan 5 gram alkohol ke
dalamnya dengan alasan bahwa 5 gram alkohol tersebut tidak mengubah 1 liter air
yang ada menjadi memabukkan? Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh?
Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan
inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan
lain tidak boleh dalam syariat Islam…
Telah kami nyatakan bahwa
obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini –bahkan boleh jadi
kebanyakannya– mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan
kadar alkoholnya: 5 gram, 10 gram… Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan ini
jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan ternyata
dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia hanya
menelan 1 sendok saja?
Inilah yang dimaksudkan dengan
hadits “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun
jika perbandingan alkoholnya sedikit –dalam arti berapapun yang dia minum tidak
menjadikannya mabuk– maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak. Namun
perkara lain (yang penting untuk diingat) sama dengan apa yang telah saya
sebutkan sebelumnya, bahwa obat-obatan yang mengandung alkohol dengan
perbandingan yang tidak melanggar syariat sesuai dengan rincian yang
disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim untuk meracik obat yang
seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah seorang muslim ataupun di
tempat kerjanya.
Haram baginya untuk membelinya
atau membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ فِي الْخَمْرِ
عَشَرَةً…
“Allah melaknat 10 jenis orang
karena khamr…”
Seorang apoteker yang hendak
meracik obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan
cara membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli
alkohol yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang
dilaknat dalam hadits tersebut.
Lain halnya apabila seseorang
membeli obat yang sudah jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak
menjadikan banyaknya obat tersebut memabukkan, maka ini boleh.” (Kaset
Silsilatul Huda wan Nur)
Dan kami memandang bahwa pendapat
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsamin rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah,
lebih dekat kepada kebenaran. Wallahu a’lam.
Footnote:
[1] Perlu diketahui bahwa alkohol
(alkanol) ada beberapa golongan. Di antaranya etanol (inilah yang dijadikan
sebagai zat pelarut, bahan bakar, atau zat asal untuk preparat-preparat
farmasi, dan sebagian besar digunakan untuk minuman keras), spiritus, dsb.,
sebagaimana diterangkan dalam buku-buku kimia dan farmasi.
[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud,
At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash- Shahihul Musnad
(1/160-161). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dan beliau menshahihkannya
dengan syawahidnya dari beberapa shahabat yang lain (Al-Irwa‘, 8/42-43).
[3] ‘Illah suatu hukum adalah
sebab penentu suatu perkara memiliki hukum tersebut.
[4] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
(1318) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya
Ash-Shahihul Musnad (1/57) dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Tirmidzi. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dengan lafadz
لَعَنَ اللهُ … (Allah melaknat…) dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, oleh Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan yang lainnya, dishahihkan
oleh Al-Albani dengan keseluruhan jalan-jalannya dalam Al-Irwa` (5/365-367).
[5] Lihat catatan kaki no. 3.
[6] Lihat haditsnya secara
lengkap pada fatwa Asy-Syaikh Muqbil di halaman sebelumnya.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=312